. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Materi Kuliah Perekonomian Indonesia Bagian II

BAB II
PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI


A. PENDAHULUAN

Di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dinyatakan secara eksplisit bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional secara keseluruhan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia secara resmi dimulai sejak dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) tahun 1969 dan prosesnya berjalan mulus selama dekade 1970-an dan 1980-an, walaupun Indonesia mengalami beberapa external shocks, seperti harga minyak mentah turun di pasar Internasional dan apresiasi nilai tukar yen terhadap dolar AS selama dekade 1980-an. Baru pada saat krisis ekonomi terjadi pada akhir tahun 1997/ awal tahun 1998, proses pembangunan ekonomi di Indonesia terasa berhenti, bahkan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1998.

Walaupun bukan merupakan suatu indikator yang bagus, kesejahteraan masyarakat, dilihat dari aspek ekonominya, dapat diukur dengan tingkat pendapatan nasional per kapita. Untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional, maka pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada awal pembanguna ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan. Untuk negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya tergolong besar dan tingkat pertumbuhan penduduknya tinnggi serta ditambah lagi dengan kenyataan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan pada awal proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan lajunya harus jauh lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk agar peningkatan pendapatan masyarakat per kapiat dapat tercapai. Selama periode orde baru pemerintah kurang memperhatikan pola pembagian dari pertumbuhan itu sendiri (distribusi pendapatan). Hal ini mengakibatkan kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin membesar, bukannya mengecil.

Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi juga akan membawa dengan sendirinya suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dari sisi permintaan agregat (AD), perubahan atau yang dimaksud dengan “pendalaman” struktur ekonomi terjadi terutama didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera masyarakat yang terefleksi dalam perubahan pola konsumsinya. Sedangkan dari sisi penawaran agregat (AS), faktor-faktor pendorong utama adalah perubahan teknologi (technological progress), peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan penemuan material-material baru untuk produksi. Faktor-faktor dari sisi suplai (produksi) ini juga merupakan sumber penting pertumbuhan. Jadi, secara hipotesis dapat diduga adanya suatu kolerasi positif antara pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, paling tidak dalam periode jangka panjang pertumbuhan yang berkesinambungan mengakibatkan perubahan struktur ekonomi lewat demand side effect (peningkatan pendapatan masyarakat) dan pada gilirannya perubahan tersebut menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi.

B. PRODUK DOMETIK BRUTO DAN PENDAPATAN NASIONAL

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena penduduk bertambah terus dan berarti kebutu7han ekonomi juga bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa didapat lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau produk domestik bruto (PDB) setiap tahun. Jadi, dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (PN). Kemiskinan yang berlangsung terus di banyak negara di Afrika Tengah merupakan salah satu contoh konkrit dari akibat tidak adanya penambahan PDB yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya pendapatan nasional di negara-negara tersebut, sementara jumlah penduduknya bertambah terus dalam laju yang tinggi.

Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan sederhana berikut ini.













Keterangan :
PNB = produk nasional bruto
NNP = produk nasional neto
F = pendapatan neto terhadap luar negeri
D = penyusutan
Ttl = pajak tak langsung neto

Jika tiga persamaan di atas digabungkan, akan didapat persamaan berikut.









PDB itu sendiri diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh nilai tambah (NT) dari semua sektor ekonomi (lapangan usaha) :





dimana NT1 hingga NTn adalah NT dari sektor 1 hingga sektor n. NT setiap lapangan usaha/sektor adalah selisih anatara kaluaran sektor (nilai output) dan masukan sektor (nilai input).

C. PERTUMBUHAN EKONOMI :
METODE PENGHITUNGAN DAN TEORI

1. Metode Penghitungan

Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dalam nilai absolut dan nilai relatif (persentase). Pertumbuhan dalam nilai absolut dinyatakan dalam rupiah, misalnya PDB tahun 2000 tumbuh Rp 2 triliun rupiah dibandingkan PDB tahun 1999, sedangkan pertumbuhan dalam persentase dapat dihitung dengan cara sederhana dengan sebagai berikut:




di mana
-->PBD (t) = pertumbuhan ekonomi tahun (t) tertentu dalam nilai absolut, t - 1 = tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun, misalnya dekade 1990-an, menggunakan rumus sebagai berikut:





atau dengan compounding factor





keterangan:
r = laju pertumbuhan PDB rata-rata pertahun
n = jumlah tahun (misalnya untuk periode 1990-an, n = 10)
m = tahun terakhir periode
t0 = tahun awal periode
(1 + r)n - 1 = menggambarkan coumpounding factor

Pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolut selanjutnya dapat dinyatakan dalam nominal berdasarkan harga berlaku dan nilai riil (nyata) berdasarkan harga konstan. Menurut harga berlaku, nilai barang dan jasa yang dihasilkan (yang totalnya membentuk PDB) dihitung berdasarkan harga pasar pada tahun bersangkutan, yang berarti kenaikan harga-harga (efek inflasi) turut dihitung. Menurut harga konstan, nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar (IHK = 100). Jadi, pertumbuhan PDB dalam nilai riil tidak dipengaruhi oleh inflasi.

Cara menghitung PDB menurut harga konstan dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:









keterangan :
HK(t) : Haraga Konstan
HB(t) : Harga Berlaku
IHK(t) : indeks harga konsumen
100 : IHK tahun dasar
t : tahun tertentu

2. Teori Umum Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan pada sisi permintaan agregat dan sisi penawaran agregat. Seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.1, titik perpotongan antara kurva p-ermintaan agregat dan kurva penawaran agregat adalah titik keseimbangan ekonomi (equilibrium) yang menghasilkan suatu jumlah output agregat (PDB) tertentu dengan tingkat harga umum tertentu . Output agregat yang dihasilkan di dalam suatu ekonomi (atau negara) selanjutnya membentuk pendapatan nasional. Apabila pada periode awal (t = 0) output adalah Y, maka yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah apabila pada periode berikutnya output = Y1, di mana Y1 > Y0. melalui analisis gambar ini bisa dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi nisa disebabkan oleh pergeseran kurva penawaran (AS1) sepanjang kurva permintaan (bagian A) atau pergeseran kurva permintaan (AD1) sepanjang kurva penawaran (bagian B).











A. Sisi Permintaan Agregat

Dari sisi permintaan agregat, pergeseran kurva AD ke kanan yang mencerminkan permintaan di dalam ekonomi meningkat bisa terjadi karena pendapatan agregat (PN) yang terdiri dari atas permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintah meningkat. Sisi permintaan agregat (penggunaan PDB) terdiri atas empta komponen, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi domestik bruto (pembentukan modal dan perubahan stok) dari sektor swasta dan pemerintah (Ib), konsumsi/ pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto, yaitu ekspor barang dan jasa (X) minue impor barang dan jasa (M). Sisi permintaan agregat di dalam suatu ekonomi bisa digambarkan dalam suatu model ekonomi makro sederhana sebagai berikut:




















Persamaan (2.12) menggambarkan keseimbangan antara sisi penawaran agregat (total output/PDB) dan isi permintaan agregat terdiri atas empat komponen tersebut. Persamaan (2.13) adalah konsumsi rumah tangga yang jumlahnya ditentukan oleh tingkat pendapatan dan "c" merupakan koefisien konsumsi (marginal propensity to consume) dengan nilai positif antara 0 dan 1, yang artinya semakin tinggi pendapatan semakin besar pengeluaran konsumsi ruamah tangga. Persamaan (2.14) menunjukkan bahwa nilai atau jumlah investasi (misalnya dalam jumlah proyek) sangat ditentukan oleh tingkat suku bunga (i) di dalam negeri, selain juga oleh sejumlah faktor lain yang bersifat otonom (Ia). Semakin tinggi tigkat suku bunga, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap (tidak berubah), semakin mahal biaya (opportunity cost) investasi, semakin kecil jumah investai didalam ekonomi yang dicerminkan oleh tanda negatif di depan koefisien "r" (positif).

Persamaan (2.15) adalah pengeluaran pemerintah yang sifatnya otonom, dalam arti besar kecilnya pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor lain (di antaranya faktor politik) di luar model tersebut. Demikian juga halnya dengan persamaan (2.16), karena Indonesia adalah negara kecil dilihat dari pangsa perdagangan luar negerinya di dalam total volume perdagangan dunia, maka pertumbuhan ekspor Indonesia lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, seperti permintaan dari luar negeri, di luar pengaruh dari kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dan variabel-variabel ekonomi domestik lainnya, seperti pendapatan nasional, tingkat suku bunga, dan inflasi. Persamaan (2.17) menggambarkan bahwa impor ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat di Indonesia, semakin besar permintaan pasar dalam negeri terhadap impor yang terdiri atas barang dan jasa untuk keperluan konsumsi dan kegiatan proses produksi di dalam negeri.

B. Sisi Penawaran Agregat (AS)

Ada dua aliran pemikiran (teori) mengenai pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi penawaran agregat (produksi), yakni teori neoklasik dan teori modern. Dalam kelompok teori neoklasik, faktor-faktro produksi yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan output adalah jumlah tenaga kerja dan kapital (modal). Kapital bisa dalam bentuk finance atau barang modal (seperti mesin). Penambahan jumlah tenaga kerja dan kapital dengan faktor lain, seperti tingkat produktivitas dari masing-masing faktor produksi tersebut atau secara keseluruhan tetap (tidak berubah), akan menambah output yang dihasilkan. Presentase pertumbuhan output bisa lebih besar (increasing return to scale), lebih kecil (decreasing return to scale), atau sama (constant return to scale) dibandingkan persentase pertumbuhan jumlah dari kedua faktor produksi tersebut.

Dalam kelompok teori neoklasik, peranan teknologi terhadap pertumbuhan output tidak mendapat perhatian secara eksplisit, walaupun pada dekade 1950-an dan 1960-an sudah mulai ada pembahasan mengenai dampak positif dari progres teknologi. Kelompok teori neoklasik lebih memusatkan perhatian terhadap efek positif dari akumulasi kapital (investasi) terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagai suatu kasus, pengalaman dari kelompok newly industrialized coutries (NICs), seperti taiwan, korea selatan, hongkong, dan singapura, memang menunjukkan bahwa kontribusi kapital per pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi sangat dominan, yakni mencapai 50 % hingga 90 %, sedangkan the residual, yang di dalam fungsi produksi Cobb Douglas dianggap sebagai efek dari pertumbuhan produktivitas dari faktor+faktor produkksi secara total atau dari progre teknologi hanya menyumbang 10 % hingga 50 % (nafziger, 1997).

Dalam kelompok teori modern, faktor-faktor produksi yang dianggap sama krusialnya tidak hanya tenaga kerja dan modal, tetapi juga perubahan teknologi (yang terkandung di dalam barang modal), energi, entrepreneurship, bahan baku, dan material. Selain itu, faktor-faktor lain yang oleh teori-teori modern juga dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan dan kondisi infrastruktur hukum serta peraturan (the rule of law), stabilias politik, kebijakan pemerintah (yang antara lain dicerminkan oleh besarnya pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan dasar tukar international (terms of trade). Pentingnya faktor-faktor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada kasus Afrika. Banyaknya negara terutama disubsahara Afrika, yang pembanguna ekonominya mandek. Menurut studi-studi yang ada, terhentinya pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut disebabkan antara lain oleh kualitas sumber daya manusianya yang sangat rendah, politik yang tidak stabil, defisit keuangan pemerintah, dan keterbatasan infrastruktur.

Dilihat dari kerangka pemikiran kelompok teori modern mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, ada sejumlah perbedaan yang mendasar denga kelompok neoklasik. Diantaranya adalah yang mencakup tenaga kerja, kapital (barang modal), dan kewirausahaan. Dalam hal tenaga kerja, dalam kelompok teori modern aspek kualitasnya menjadi lebih penting daripada aspek kuantitasnya. Aspek kualitas tenaga kerja tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan, tetapi juga kondisi kesehatannya. Sekarang ini tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan dua variabel bebas yang penting dalam analisis empiris dengan pendekatan ekonometris mengenai pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan biasanya diukur dengan persentase tenaga kerja yang berpendidikan tinggi terhadap jumlah tenaga kerja atau penduduk yang terdaftar dalam suatu tingkat pendidikan tertentu, misalnya pendidikan dasar (primary school enrollment), sedangkan tingkat kesehatan umumnya diukur dengan tingkat harapan hidup (life expectancy). Demikian juga halnya dengan kapital, kualitasnya (yang mencerminkan progres teknologi) lebih penting daripada kuantitasnya (akumulasi kapital). Juga kewirausahaan, termasuk kemampian seseorang untuk melakukan inovasi, merupakan salah satu faktor krusial bagi pertumbuhan ekonomi.

Sebenarnya perdebatan di seputar persoalan pertumbuhan ekonomi telah berlangsung sejak akhir dekade 1940-an, diawali dengan teori dari Keynes dan Harrod dan Domar. Pada awal perdebatan (teori neoklasik) hanya dua faktor produksi yang dianggap sangat penting bagi pembentukan atau pertumbuhan output (Y), yakni barang modal (K) dam manusia atau tenaga kerja (L). Teori pertumbuhan neoklasik ini didasarkan pada fungsi produksi Cobb Douglas, yaitu:





Keterangan:
Yt = tingkat produksi
Tt = tingkat teknologi pada periode t
Kt = jumlah stok modal pada periode t
Lt = jumlah tenaga krja pada periode t
-->
α dan ß = masing-masing produktivitas tenaga kerja dan modal
Selanjutnya fungsi produksi ini dikembangkan dengan menambah dua faktor produksi lain, yakni input antara atau material produksi (M) dan energi (E). Akan tetapi, model pertumbuhan ekonomi ini yang didasarkan pada teori pertumbuhan neoklasi memiliki suatu kelemahan serius. Medel tersebut tidak bisa menerangkan kenapa di banyak negara di dunia pertumbuhan ekonominya jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan berdasarkan model ini. Kenapa, misalnya, Korea Selatan yang tidak memiliki sedikit pun bahan baku dan sangat miskin akan barang modal pada awal pembangunannya setelah Perang Korea berakhir bisa menghasilkan suatu proses pembangunan ekonomi yang menakjubkan dengan laju pertumbuhan ekonomi pertahun jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Model pertumbuhan neoklasik hanya melihat pada satu sumber pertumbuhan saja, yakni kontribusi dari peningkatan jumlah faktor-faktor produksi. Padahal, pengalaman Korea Selatan memperlihatkan bahwa ternyata sumber pertumbuhan yang terpenting adalah peningkatan produktivitas (bukan jumlah) dari faktor-faktor prioduksi yang digunakan, dan ini mencerminkan adanya suatu progres teknologi.

Dalam model pertumbuhan neoklasik, teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap konstan atau tidak (kurang) penting (dianggap suatu koefisien yang konstan) sehingga produktivitas tenaga krja dan kapital tidak nbisa ditingkatkan.
Sumber pertumbuhan yang berasal dari peningkatan produktivitas dari faktor-faktor atau input produksi dapat dilihat secara parsial, yakni dari masing-masing input, partial factor productivity (PFP), atau secara keseluruhan dari semua input, total factor productivity (TFP). TFP adalah suatu konsep dari neoklasik.
Dengan alasan kelemahan model pertumbuhan neoklasik yang dibahas di atas, maka sebagai alternatif muncul model pertumbuhan ekonomi medern atau endogenous growth model yang memasuki aspek-aspek endogenitas dan eksternalitas di dalam proses pembangunan ekonomi. Sifat keberadaan teknologi tidak lagi given, tetapi merupakan salah satu faktor produksi yang dinamis. Demikian juga halnya dengan faktor manusia. Tenaga kerja di dalam fungsi produksi tidak lagi merupakan suatu faktor yang eksogen, tetapi bisa "berkembang" mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta pendidikan menjadi faktor-faktor pertumbuhan yang penting.

Endogenous growth model juga sangat relevan untuk menganalisis laju serta pola pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terutama karena dampak dari progres tenologi dan kamajuan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri semakin tampak jelas saat ini dibandingkan, misalnya, 30 tahun yang lalu. Salah satu model pertumbuhan neoklasik yang bisa di"endogenous"-kan dan umum digunakan di dalam analisis-analisis empiris mengenai peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah model dari Harrod-Domar.
Inti dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah suatu relasi jangka pendek antara peningkatan investasi (pembentukan kapital) dan pertumbuhan ekonomi. Dua variabel fundamental dari model ini adalah pembentukan kapital (investasi) dan ICOR (incremental capital output ratio). Jika Y = output, K = stok kapital, dan I = investasi, maka ICOR adalah (
-->K/ -->Y), penambahan kapital dibagi pertumbuhan output, sama seperti (I/ -->Y), sejak -->K = I dalam definisi.
Model Harrod-Domar ini adalah suatu modifikasi yang didasari pada model-model pertumbuhan masing-masing dari Domar dan Harrod. Model Domar lebih memfokuskan pada laju pertumbuhan investasi (^I/I). Di dalam modelnya, investasi (I) ditetapakan harus tumbuh atas suatu persentase yang konstan, sejak marginal propensity to save, yakni rasio dari pertumbuhan tabungan (S) terhadap peningkatan pendapatan (Y), dan ICOR keduanya konstan. Sedangkan penekanan model Harrod lebih pada pertumbuhan pendapatan (output) jangka panjang (growth path). Di dalam modelnya, laju pertumbuhan keseimbangan (warranted growth) yang membuat besarnya tabungan yang dirancanakan ditetapkan selalu sama dengan besarnya investasi yang direncanakan, yaitu:










Model ini tidak saja menekankan pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pentingnya tabungan nasional sebagai sumber utama pembiayaan investasi tersebut. Oleh karena itu, model ini sangat relevan sebagai salah satu alat analisi empiris untuk kasus Indonesia. Selama masa orde baru telah terbukti bahwa investasi memang merupakan salah satu faktor krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Terbukti juga, selama krisis ekonomi lesunya kegiatan investasi di dalam negeri membuat kondisi perekonomian nasional semakin buruk. Dengan tingkat tabungan nasional yang masih terbatas, Indonesia terpaksa menggantungkan diri pada pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing (PMA) untuk mempertahankan kegiatan investasi yang diperlukan di dalam negeri.
Setiap ekonomi/negara membutuhkan investasi minimum untuk mempertahankan kapasitas produksi. Kapasitas produksi/output potensial didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu negara pada waktu tertentu dalam keadan normal. Tingkat kapasitas produksi dipengaruhi oleh jumlah dan produktivitas faktor-faktor produksi (TFP). Pada macromodel IBII(2000) diasumsikan bahwa faktor produksi yang menentukan kapasitas produksi di Indonesia adalah jumlah kapital karena faktor tenaga kerja Indonesia (terutama yang berasal dari sektor pertanian) cukup melimpah.

Berdasarkan asumsi ini, maka perubahan kapasitas produksi tergantung pada perubahan kapital (IBII, 2000: 33 - 34).





Keterangan:
-->cap = kapasitas produksi atau output potensialK = kapital
k = capital output ratio (COR) yang mengukur tingkat efisien penggunaan kapital.

Di lain pihak, di dalam model makro ini kapital pada tahun tertentu (t) didefenisikan sebagai penjumlahan stok kapital tahun lalu (t - 1) dan investasi bersih.





Keterangan:
i = investor kotor
s = scrap of capital

Scrap of capital adalah kapital yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis karena output yang dihasilkan lebih kecil daripada biaya produksinya.

Dengan melakukan substitusi persamaan (2.22) ke dalam persamaan (2.21) diperoleh:





Dengan membagi persamaan (1.23) dengan k(t-1) (= k x cap(t-1)) dan diasumsikan bahwa besarnya s = ð k(t-1) diperoleh persamaan tingkat pertumbuhan kapasitas produksi :




Hasil estimasi kapasitas produksi Indonesia tahun 2000 (berdasarkan data tahun 1971 sampai dengan tahun 1997) di dalam model makro IBII ini dengan menggunakan persamaan kapasitas produksi adalah sebagai berikut:





D. PERTUMBUHAN EKONOMI SEJAK PELITA 1

Melihat kondisi pembangunan ekonomi indonesia sejak Pelita 1 tahun 1969 hingga krisis ekonomi terjadi, akhir tahun 1997/ awal tahun 1998, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat). Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro. Dua diantaranya yang umum digunakan adalah tingkat pendapatan nasional per kapita dan laju pertumbuhan PDB per tahun. Pada tahun 1968 pendapatan nasional per kapita masih sangat rendah, hanya sekitar US$ 60. tingkat ini jauh lebih rendah dibanding pendapatan nasional dari negara-negara berkembang (LDCs) lain pada saat itu. Akan tetapi, sejak Pelita 1 dimulai pendapatan nasional Imdonesia per kapita mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$ 500.

Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata per tahun juga tinggi, sekitar 7% hingga 8% selama dekade 1970-an dan turun menjadi 3% hingga 4% per tahun selama dekade 1980-an. Selama dekade 1970-an dan 1980-an, proses pembangunan ekonomi Indonesia tidak tanpa mengalami banyak shock yang cukup serius, terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal , seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan dekade 1980-an dan resesi ekonomi dunia pada dekade yang sama. Karena Indonesia sejak pemerintahan orde baru menganut sistem ekonomi terbuka, goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa dampaknya terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Perekonomian nasional pada saat itu sangat tergantung pada pemasukan Dolas AS dari hasil ekspor komoditi-komoditi primer, khususnya minyak dan hasil pertanian. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini membuat perekonomian nasional tidak bisa menghindar dari pengaruh negatif dari ketidakstabilan harga dari komoditi-komodti tersebut di pasar internasional. Selain faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang industri, juga sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di negara-negara industri mau, seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Eropa Barat, yang merupakan pasar penting bagi ekspor Indonesia.

Resesi ekonomi dunia yang terutama disebabkan oleh rendahnya laju pertumbuhan PDB/ PN di negara-negara industri maju yang mendominasi perdagangan dunia mengakibatkan lemahnya permintaan dunia terhadap barang-barang ekspor dari Indonesia, yang selanjutnya dapat menyebabkan defisit saldo neraca perdagangan. Tanpa ada kompensasi yang cukup dari sumber-sumber lain, seperti investasi dan pinjaman dari luar negeri, defisit defisit saldo neraca perdagangan membuat Indonesia kekurangan cadangan devisa (khusunya dolar AS). Akibat selanjutnya, dana rupiah yang dapat disediakan untuk membiayai proses pembangunan ekonomi dan ketersediaan dolar AS yang diperlukan untuk pembiayaan impor berkurang. Berkurangnya impor, khususnya barang modal, input perantara, bahan baku, dan komponen untuk keperluan kegiatan-kegiatan ekonomi (khususnya industri), dapat mengurangi kapasitas produksi di dalam negeri, yang selanjutnya berdampak negatif terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PN per kapita.

Dampak negatif resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju pertumbuhan ekonomi yang untuk periode 1982-1988 jauh lebih rendah daripada periode-periode sebelumnya. Beberapa negara lain di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Taiwan, Thailand, juga mengalami hal yang sama. Terkecuali di Filipina, merosotnya pertumbuhan ekonomi di Malaysia, Thailand, dan Taiwan lebih lambat dibandingkan di Indonesia karena memang ketiga negara tersebut basisnya sudah lebih kuat daripada ekonomi Indonesia. Sejak pertengahan dekade 1970-an, sektor induetri dan ekspor manufaktur di negara-negara tersebut sudaj jauh lebih maju dibandingkan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa biasanya resesi ekonomi dunia lebih mengakibatkan permintaan dunia berkurang terhadap bahan-bahan baku (yang sebagian besar diekspor oleh LDCs) daripada permintaan terhadap barang-barang konsumsi, seperti alat-alat rumah tangga dari elektronik dan mobil (yang pada umunnya ekspor negara-negara maju).

Selama pertengahan pertama dekade 1990-an, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun sekitar 7,3% hingga 8,2%. Hal ini membuat Indonesia termasuk negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi ini, rata-rata pendapatan nasional per kapita di Indonesia naik pesat setiap tahun, yang pada tahun 1993 dalam dolar AS sudah melewati angka 800. Akan tetapi, akibat krisis, pendapatan nasional per kapita Indonesia menurun drastis ke 640 dolar AS pada tahun 1998 dan 580 dolar AS pada tahun 1999.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat Indonesian miracle selama pemerintahan Soeharto menjadi tidak berarti apa-apa. Sektor keuangan/perbankan yang ada pada masa orde baru berkembang sangat (bahkan terlalu) pesat hancur sama sekali, terutama karena kredit macet antarbank. Dari sisi penawaran agregat, sektor industri manufaktur dan sektor konstruksi (bangunan) juga mengalami penurunan produksi yang signifikan. Praktis hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif.

Pertumbuhan positif sektor pertanian terutama karena dukungan subsektor perkebunan, kehutanan, dan perikanan yang produksinya terus meningkat. Selain itu, sumber lain yang membuat sektor ini tetap bisa meningkatkan outputnya adalah pertumbuhan ekspornya. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat harga komoditas-komoditas pertanian dalam dolar AS menjadi lebih murah sehingga price competitiveness sektor pertanian meningkat.

Industri manufaktur yang merupakan andalan ekonomi Indonesia sebagai sumber nilai tambah juga sangat terpukul oleh krisis ekonomi. Yang membuat hancurnya sektor ini adalah akibat turunnya kemampuan belanja (purchasing power) masyarakat dan lesunya kegiatan-kegiatan ekonomi domestik yang membuat menurunnya jumlah permintaan agregat yang terdiri atas final demand dari masyarakat dan intermediate demand dari sektor ekonomi (termasuk industri itu sendiri) terhadap produk-produk manufaktur.

Sedangkan dampaknya melalui sisi penawaran agregat terutama karena tingginya suku bunga pinjaman, terbatasnya kredit dari bank, mahalnya bahan-bahan baku impor, dan akibat ditolaknya letter of credit (L/D) yang dikeluarkan oleh bank-bank nasional oleh bank-bank luar negeri. Semua ini membuat banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri terpaksa menghentikan seluruh atau sebagian dari kegiatan produksi mereka.

Sumber pertumbuhan dari sisi permintaan agregat dapat diestimasi dengan menganalisis pertumbuhan dan pembentukan PDB menurut pengeluaran. Setiap tahunnya kontribusi dari konsumsi rumah tangga (C), investasi bruto (I), dan ekspor (X) atau ekspor neto (X-M) terhadap pertumbuhan PDB di Indonesia selama periode yang diteliti sangat besar. Masing-masing komponen expenditure tersebut memiliki nilai absolut paling besar dibandingkan pengerluaran pemerintah (G) dan perubahan stok (?SB) di dalam total penggunaan PDB.

Komponen permintaan agregat yang paling besar penurunannya selama tahun 1998 adalah investasi (I) yang merosot sekkitar 33,1%, dibandingkan kontraksi konsumsi rumah tangga (C) sebesar 6,40% dan konsumsi pemerintah (G) 15,37%. Pada awalnya, salah satu faktor penting yang menyebabkan merosotnya kegiatan investasi di dalam negeri selama masa krisis, seperti juga di negara-negara Asia lain yang terkenaa krisis (Korea Selatan dan Thailand), adalah karena kerugian bessar yang dialami oleh banyak perusahaan swasta akibat depresiasi rupiah yang besar, sementara utang luar negeri mereka dalam mata uang dolar AS tidak di-hedging sebelumnya dengan kurs tertentu di pasar forward. Faktor-faktor lain yang membuat lesunya investasi di antaranya adalah jatuhhnya harga saham, pelarian modal keluar (capital flight) atau arus modal keluar lebh banyak daripada arus modal masuk, dan resikko premium yang meningkat drastis.

Jika pada tahun 1998 krisis ekonomi di Indonesia mencapai klimaksnya dengan laju pertumbuhan PDB negatif dan pada tahun 1999 sedikit membaik dengan laju pertumbuhan sedikit di atas 0%, maka dapat dikatakan bahwa pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik. Pada triwulan ketiga tahun 2000 PDB, setelah dikoreksi dari pengaruh inflasi, naik 1,97% dibanding triwulan sebelumnya. Kenaikan ini lebih besar dibanding kenaikan triwulan kedua terhadap triwulan pertama tahun 2000 yang mencapai 0,34%. Jika dibandingkan periode yang sama tahun 1999, maka pada triwulan ketiga tahun 2000 ssecara komulatif tumbuh 4,54%. Atas dasar berlaku, PDB Idonesia tahun 1999 mencapai Rp. 1.119,4 triliun (Rp 1,1 giliun), sedangkan sampai dengan triwulan ketiga tahun 2000 sudah mencapai Rp 948,8 triliun.

Menurut LP3E-KADIN Indonesia, tahun 2000 diperkirakan pertumbuhan PDB sekitar 4,8% dan tahun 2001 sedikit menurun menjadi 4,0%. Menurut penggunaan, sumber utama pertumbuhana PDB selama triwulan pertama hingga triwulan ketiga tahun 2000 adalh ekspor barang dan jasa dengan rata-rata pertumbuhan hampir mencapai 18% dan investasi dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 13,4%. Untuk tahun 2001 diperkirakan ekspor tetap sebagai motor utama penggerak pertumbuhan PDB dengan proyeksi 12,8%. Dalam pertumbuhan PDB menurut sektor, industri manufaktur pada tahun 2001 ini akan mengalami peningkatan laju pertumbuhan menjadi 27,1% pada triwulan ketiga tahun 2000. sektor kedua dengan perkiraan laju pertumbuhan yang tinggi adalah pertanian sebesar 17%, sedikit lebih rendah daripada pertumbuhannya pad triwulan ketiga tahun 2000.

E. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

1. Faktor-faktor Internal

Tidak dapat diingkari bahwa penyebab utama berubahnya krisis rupiah menjadi suatu krisis ekonomi paling besar yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1998 lalu adalah karena buruknya fundamental ekonomi nasional, sedangkan lambatnya proses pemulihan ekonomi nasional selama dua tahun belakangan ini lebih disebabkan oleh kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang kenyataannya sejak reformasi dicetuskan Mei 1998 lalu hingga saat ini semakin buruk. Selama tahun 2000 fundamental ekonomi mengalami perbaikan nyata, walaupun lajunya lambat sehingga masih jauh dari kondisi yang baik atau kuat.

Pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lambat dikarenakan proses pebaikan fundamental ekonomi nasional tidak disertai kestabilan politik dan keamanan yang memadai, penyelesaian konflik sosial, serts kepastian hukum. Faktor-faktor nonekonomi ini merupakan aspek-aspek penting dalam menentukan tingkat resiko yang terdapat di dalam suatu negara yang menjadi dasar keputusan bagi pelaku-pelaku bisnis, khususnya asing, untuk melakukan usaha di negara tersebut.

Ketidakstabilan politik dan konflik sosial, baik horizontal maupun vertikal, yang terus berlangsung dan tidak ada tanda-tanda bahwa akan membaik pada tahun 2001 ini serta ditambah lagi dengan tidak adanya rasa aman membuat tingkat country risk Indonesia semakin tinggi. Perkembangan yang tidak menentu seperti ini menjadi penghalang utama pertumbuhan investasi di Indonesia.

Padahal, investasi, khususnya penanaman modal jangka pnjang (PMA), merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terutama untuk sektor-sektor ekonomi yang secara potensial bisa sangat produktif dan bisa diandalkan sebagai sumber devisa yang saat ini masih mengalami kelesuan. Sampai dengan triwulan kedua tahun 2000, nilai pengeluaran konsumsi mencapai Rp 76,3 triliun yang didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga yang hampir mencapai Rp 69 triliun.

Angka persetujuan investasi, baik usulan penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), menunjukkan bahwa minat sektor swasta melakukan investasi di dalam negeri cenderung menurun. Sejak januari 2000 pemerintah telah memberikan persetujuan PMA sebanyak 536 proyek senilai 2,1 miliar dolar AS serta usulan proyek PMDN sebanyak 117 dengan nilai Rp 11,7 triliun. Selama tahun 1999 jumlah proyek yang disetujui untuk PMA adalah 1.164 proyek senilai 10.890,6 juta dolar AS dan PMDN sebanyak 237 proyek senilai Rp 53.550 miliar.

2. Faktor-faktor Eksternal

Kondisi perdagangan dan perekonomian regional atau dunia merupakan faktor eksternal yang sangat penting untuk mendukung pemulihan ekonomi di Indonesia. Kondisi ini penting karena sangat berpengaruh terhadap prospek pertumbuhan ekspor dan investasi asing di dalam negeri. Apabila perekonomian negara-negara mitra dagang Indonesia mengalami kelesuan, terutama Jepang, Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Australia, akan mempersulit Indonesia dalam proses pemulihannya.

Banyak lembaga dunia memperkirakan kondisis perekonimian Asia tahun 2001 tidak akan lebih baik dibandingkan tahun 2000. Bahkan, Deutsche Bank Hong Kong memperkirakan kondisi perekonomian Asia tahun 2001 tidak akan berbeda dengan kondisi 1999, yang selain masih terperangkap dalam resesi, juga terpukul oleh melambatnya permintaan impor dari pasar besar, yakni Amerika Serikat. Deutsche Bank memperkirakan pertumbuhan ekspor Asia akan anjolk sebesar 40% pada tahun 2001. Sementara, Merrill Lynch di Singapura memprediksi ekspor Asia hanya akan naik 7%, setelah tumbuh 20% pada tahun 2000.

Sementara itu, JP Morgan memperkirakan bahwa setelah mengalami ekspor 7,8% pada paruh pertama tahun 2000, PDB riil Asia hanya akan tumbuh sekitar 3% pada kuartal kempat. Untuk tahun 2001, JP Morgan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia akan turun menjadi 5,4%.

F. PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI

Teori dan Empiris

Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi, yakni dari Arthur Lewis (teori migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi struktural).

Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah perkotaan (urban). Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi oelh sektor pertanian dan perekonomian mmodern di perkotaan denga industri sebagai sektor utama.

Kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama dengan model Lewis. Teori Chenery, dikenal dengan teori pattern of development, memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang mengalami transformasi dari perrtanian trsdisional (subsisten) ke sektor industri sebagai mesin utama perubahan ekonomi. Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin (1975) mengidentifikasi bahwa sejalan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang mabufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan industri-industri di urban bersama dengan proses migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk family size yang semakin kecil, setruktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor pertanian atau / dan sektor pertambangan manuju ke sektor-sektor nonprimer, khususnya industri.

Berdasarkan hasil study dari Chenery dan Syrquin, perubahan pangsa tersebut dalam periode jangka panjang menunjukkan suatu pola. Kontribusi output adri pertanian terhadap pembentukan PDB mengecil, sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur dan jasa mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau pendapatan nasional per kapita.

Indikator penting kedua sering digunakan didalan studi-studi empiris untuk mengukur pola perubahan setruktur ekonomi adalah distribusi kesempatan kerja menurut sektor. Relasi antara tingkat pendapatan per kapita dan perubahan struktur ekonomi dapat dianalisis dengan pendekatan time series dan pendekatan cross section.
Post a Comment
Thanks for your comment